LEBIH baik mati daripada hutan habis. Biar berapapun orang yang mau membayar, untuk merelakan hutan di tebang, kami tidak mau,” dengan nada bergetar Marituha berujar. Marituha merupakan Tumenggung Orang Rimba dari kelompok Sungai Terab yang bermukim di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD).
Perkataan Tumenggungg Marituha menggambarkan betapa berharganya hutan bagi dirinya dan Orang Rimba lainnya yang kini kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan akibat pembabatan hutan. Bahkan ketiadaan tempat melangsungkan kehidupan menghantui Orang Rimba yang terbiasa hidup berpindah-pindah.
Orang Rimba merupakan kelompok masyarakat yang hidup di hutan-hutan sekunder di Provinsi Jambi, yang hidup dari berburu dan meramu hasil hutan. Dahulu Orang Rimba bisa hidup tenang karena ruang jelajah mereka sangat luas, namun seiring dengan semakin maraknya alih fungsi hutan menjadi HPH, HTI, perkebunan sawit dan trasmigrasi, ruang hidup Orang Rimba semakin sempit. Bagi Orang Rimba di Bukit Duabelas, satu-satunya kelompok hutan yang masih terisa hanyalah Taman Nasional Bukit Duabelas. Padahal dahulunya disekeliling taman nasional ini juga merupakan wilayah hidup dan berpenghidupan Orang Rimba. Namun yang terjadi saat ini adalah penghancuran wilayah hidup mereka.
Dengan semakin banyaknya pohon yang ditebang, ekosistem yang berada di hutan juga semakin terancam. Tidak hanya hewan harus menerima kenyataan sulit untuk mempertahankan hidupnya, namun Orang Rimba yang segalanya bergantung pada hutan juga harus mampu mengatur strategi untuk mempertahankan sumber penghidupannya, supaya kondisinya tidak seperti saat ini . dimana, kondisi hutan sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Sedikitnya enam belas perusahaan di kawasan TNBD telah mengubah hutan tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit dan HTI.
Dulunya ada sekitar 100 ribu hektar hutan yang berada di kawasan TNBD, namun kini hanya tersisa 60 ribu hektar yang menjadi sumber penghidupan Orang Rimba. Wilayah TNBD sendiri masuk tiga kabupaten, yakni Sarolangun, Batanghari, dan Tebo. Sedangkan untuk Sungai Terab secara administrasi masuk Desa Jeluti, Kecamatan Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari.
Untuk menghadang semakin luasnya ekspansi perambahan hutan, Orang Rimba membuat Hompongan. Hompongan adalah lahan yang bentuknya memanjang dan ditanami karet dan tanaman lainnya. pembuatan hompongan ini menjadi batas sekaligus penyangga hutan TNBD. Warga luar atau perusahaan dilarang keras membuka hutan melewati hompongan tersebut. Selain tujuan utama hompongan untuk mempertahankan keberadaan hutan, ternyata konsep kearifan lokal itu sejalan dengan progam Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), yang jauh terpikirkan oleh Orang Rimba sebelum isu deforestasi dalam negosiasi UNFCCC pada COP-11 di Montreal tahun 2005 dibawah agenda pengurangan emisi dari deforestasi di negara berkembang (RED) yang kemudian berlanjut pada konferensi para pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 yang telah menghasilkan rencana aksi Bali (Bali Action Plan). Yakni rencana atau peta jalan negosiasi strategi global, yang mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim.
Bagi Orang Rimba tak penting apakah hompongan yang dibuat itu sekeren progam REDD, namun yang dipahami adalah bagaimana hutan tidak terus dihabisi, karena ulah manusia. “Ketika hutan terus digunduli, kehidupan kami merasa terancam. Sejak tahun 1999 kami mulai membuat hompongan, supaya kami bisa terus hidup dari adanya hutan,” kata Tumenggung Marituha sembari mengisahkan lika-liku dibalik pembuatan hompongan tersebut. “Meski ide hompongan ini dari kami sendiri, namun awalnya kami sempat menolak. Karena tanaman yang ada di hompongan itu tidak sesuai dengan adat yang kami pakai secara turun temurun dari nenek moyang,” ujarnya.
Salah satu tumbuhan yang ditanam di hompongan tersebut yaitu pohon karet unggul. Adat Orang Rimba pantang menanam pohon yang ditanam oleh orang desa. Kalaupun ditanami pohon karet, harusnya karet alami yang tumbuh di hutan. Hompongan sendiri tersebar di beberapa kawasan TNBD, dan setiap tempat luasnya beragam, mulai dari 4 hektar hingga 20 hektar. Saat ini dari beberapa hompongan tersebut telah menghasilkan uang dari pohon karet yang sudah bisa disadap.
Meski saat ini terbentang ratusan hektar hompongan, namun bukan berarti membuat tenang akan ancaman habisnya hutan. Ketidakberdayaan melawan perusahaan menjadi persoalan tersendiri bagi Orang Rimba, karena adat yang digunakan Orang Rimba tak jarang terabaikan masyarakat luar.
Tumenggung Marituha mencontohkan, ada beberapa pohon yang menurut adat Orang Rimba tidak boleh ditebang. Seperti kayu Tenggeris, kayu Mentubung, kayu Sialang Kedondong. Hukum adat yang berlaku, siapapun yang menebang pohon tersebut di denda 60 keping kain, bahkan harga satu pohon katanya sama dengan harga satu nyawa manusia. Belum lagi tanah pasoron atau tempat pekuburan, yang juga tidak boleh dibabat. “Sebenarnya banyak kawasan yang kami anggap miliki kami, dimana dalam area tersebut terdapat pohon yang menurut adeat kami tidak boleh ditebang. Namun oleh perusahaan, dengan seenaknya menghabisi pohon tersebut. Pernah kami minta denda, namun yang diberikan tidak sesuai,” sambil menatap rerimbunan hutan, dirinya terus bercerita.
Melalui konsep hompongan itu, kedepan Orang Rimba bertekad supaya perambahan dan pembabatan hutan untuk kepentingan ekonomi sesaat dapat diminimalisir, bahkan tidak ada lagi sama sekali. “Ini bukan hanya kepentingan kita saat ini, tapi untuk anak cucu kita nanti,” tegasnya. Sementara itu,Direktur Komunikasi Komunitas Konservasi (KKI) Warsi Jambi, Rudi Syaf menyatakan, keberlangsungan hutan harus terus dipertahankan. Isu kehutanan dan perubahan iklim menjadi isu utama dalam berbagai diskusi terkait pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Sekitar 18 persen, hutan berperan menyumbang emisi, akibat alih fungsi lahan dan hutan untuk dijadikan kawasan HTI maupun perkebunan. Bahkan katanya , berdasarkan data setiap tahunnya 13 juta hutan tropis hilang.
“Konsep hompongan yang dibuat Orang Rimba sangat erat kaitannya dengan pengurangan emisi dan perubahan iklim. Apakah hal itu disadari atau tidak disadari oleh Orang Rimba. Namun yang terpenting adalah bagaimana peran yang dilakukan itu mendapat apresiasi,” ungkapnya. Menjadi sebuah tantangan tersendiri menurutnya, karena skema penerapan dan cara kerja REDD yang belum sepenuhnya mengatur hak dan kompensasi penduduk asli yang hidup serta matapencahariannya bergantung pada hutan, seperti halnya Orang Rimba. Perancang REDD harus sepenuhnya meperhatikan memperhatikan hak masyarakat tradisional yang memainkan peran penting dalam proses pengurangan emisi tersebut. “Selama ini belum ada peraturan yang menjamin hak dan imbal balik bagi masyarakat tradisional yang mengelola hutan kecil seperti hompongan tersebut,” kata Rudi.
Pada prinsipnya katanya, lembaga, pemerintah atau masyarakat lokal yang berhasil mencegah deforetasi dan degradasi hutan mendapat insentif dari penerapan REDD, termasuk masyarakat Rimba yang mengelola hompongan. Melalui surat elektronik yang kami kirimkan, Ari Wibowo, Bidang Perlindungan Hutan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan mengatakan, Prinsip REDD adalah mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan serta mendapatkan kompensasi dari berapa besar hutan yang diselamatkan atau dijaga dibandingkan dengan kalau hutan tersebut tidak dijaga (business as usual). “Sampai saat ini mekanisme REDD yang wajib (compliance) masih dalam tahap pengembangan melalui COP-UNFCCC dan prinsipnya masyarakat lokal tidak dirugikan serta mendapatkan keuntungan dari REDD,” sebutnya.
Sedangkan, besaran kompensiasi kepada masyarakat lokal belum diatur , karena sistemnya menurutnya dinegosiasikan dengan pengembang proyek REDD. Sehingga, masyarakat lokal perlu sosialisasi tentang REDD. Begitupun dengan mekanisme REDD yang hanya memperhitungkan berapa emisi yang bisa diturunkan melalui pencegahan deforestasi dan degradasi. “Jadi tidak memperhitungkan nilai lahan” imbuhnya. Kata dia, pemerintah seharusnya juga melaksanakan program REDD pada kawasan yang ingin dijaga kelestariannya sebagai hutan. “Yang menjadi isu penting adalah izin kegiatan REDD melekat pada izin yang sudah diberikan pada kawasan tersebut,” jelasnya lagi.
Halasan Tulus, kepala TNBD mengakui, sejauh ini pihaknya belum mendapatkan intruksi langsung dari pemerintah daerah maupun pusat mengenai pelaksanaan progam REDD. Meski demikian, sudah beberapa kali dirinya mendapatkan sosialisasi dari lembaga pecinta lingkungan. Kaitannya dengan hompongan yang berada di TNBD, dirinya mengaku mendukung apa yang dilakukan Orang Rimba untuk mencegah laju perambahan hutan tersebut. Begitupun nantinya jika memang REDD sudah berjalan efektif. “Yang paling penting masyarakat dilibatkan. Kita merancang bersama mekanismenya, termasuklah hompongan yang dikelola Orang RImba,” ujarnya.
Sejauh ini katanya, untuk hutan yang berada di kawasan TNBD, pihaknya selalu melakukan pengawasan secara intens, dengan melakukan patroli secara rutin, supaya tidak ada pihak yang melakukan perambahan masuk hingga area TNBD.
Meski demikian, keanggotaan yang dimiliki sangat minim yang hanya berjumlah 44 orang, sehingga pihaknya bekerjasama dengan kepolisian kehutanan, masyarakat maupun pecinta lingkungan untuk melakukan pengawasan di kawasan TNBD. Halasan Tulus menegaskan jika sejauh ini tidak ada perusahaan yang overlap melakukan kegiatan hingga ke kawasan TNBD. Namun untuk aktivitas yang dilakukan perorangan dirinya tidak menyangkal masih ada, dengan alasan sulit terpantau. Yang justru perlu dikhawatirkan katanya, orang luar yang memiliki kepentingan ekonomi tinggi, sehingga hutan yang selama ini dijaga, bisa saja terjual. “Hal seperti ini sangat mungkin terjadi. Nominal uang yang cukup banyak terkadang menggiurkan masyarakat tradisional, sehingga hutan sebagai tempat tinggalnya bisa saja dijual,” katanya.
Sementara, kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Batanghari, Suhabli menyatakan, jika Dishut sifatnya hanya sebagai pengawas untuk kawasan yang berada di TNBD. “Untuk kawasan yang berada di TNBD itu ada pengelolanya sendiri, kami hanya sebatas pengawas saja,” ungkapnya.
Sumber : http://www.metrojambi.com/v1/daerah/3880-hompongan-kearifan-lokal-untuk-kearifan-global.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar